Jumat, 04 September 2009

CERPEN 
“Nostalgi  Awal Pagi”

                     Gema adzan subuh sayup-sayup terdengar tetapi entah kenapa mata ini terasa berat sekali untuk dibuka, mungkin karena makan sahur yang terlalu banyak membuat penuh isi perut yang berimbas pada rasa katuk yang tak tertahan, pelahan tapi pasti alam sadarku mulai hilang berganti menjadi pemandangan indah bergunung-gunung tinggi, udara sejuk kadang dingin menggigit tulang, pepohonan hijau yang menghampar sejauh mata memandang… ah aku seperti kenal tempat ini… ya aku pernah disini, tempat yang memberikan aku seribu satu kenangan indah dari masa lalu yang sudah usang, tempat yang tidak ingin aku kunjungi lagi betapapun hati kecilku sangat menginginkannya.
                    Kurasakan tubuhku bergerak sangat cepat menyusuri jalan berkelok-kelok khas pegunungan ah rupanya aku sedang mengendarai mobil kulihat disebelah kananku sopirku dengan tenangnya memainkan setir mobil dengan lincahnya seakan-akan dia juga mengenal sekali daerah ini. Kucoba membuka percakapan dengannya, “kenapa kita harus kesini mas?” tanyaku…” ya sekedar jalan-jalan saja kok pak itung-itung refresing.” “Refresing kenapa harus kesini” batinku berontak.

                      Mobil mulai memasuki sebuah desa yang begitu aku kenal hingga sampai ke gang-gang kampungnya. Aku menahan nafas sejenak. Sopirku seperti tahu kegalauanku "tenang pak kita Cuma akan pergi keliilng kampung saja kemudian kita akan beristirahat di pondok kecil di luar desa sambil istirahat dan menikmati pemandangan. “katanya.
“Oke kalau begitu tapi sebentar saja ya” jawabku.
Mobil mulai melewati jalan-jalan dan gang dikampung , masih seperti dulu tidak ada yang berubah sama sekali, penduduknya yang ramah. Logat bahasanya yang terdengar asing dan kasar. Ah betapa sangat rindu aku semuanya… makanannya, minuman hangat tetapi pahit dan keriduan pada sesosok wajah yang bertahun tahun tak pernah kulihat lagi… ah tapi sudahlah kerinduan itu harus segera kutepis, toh kami sudah sepakat untuk menapaki jalan hidup masing-masing, masa lalu adalah kenangan masa kini adalah perjuangan dan masa depan adalah harapan…
                    Mobil kami sedikit melambat ketika lewat di depan rumah itu, rumah yang kecil mungil berdinding papan bercat berdinding papan bercat biru pudar,rumah dimana aku pernah melewatkan masa terindah diantara keluarga yang selalu menyambutku hangat khas masyarakat desa, ah kulihat jendela kamar disalah satu sudut rumah itu sedikit terbuka, aku lihat sesosok wanita terlihat sedang menimang bayi mungil sambil sesekali tersenyum dan bicara sendiri. Dia masih seperti dulu ketika aku tinggalkan, rambut yang hitam berurai dan bergelombang. Sepasang mata yang bercahaya dan penuh semangat hidup, siapapun orangnya laki-laki ataupun perempuan akan merasa tentram jika memandang mata indah itu disana ada kehidupan, keceriaan betapa dulu aku tahan berjam-jam ngobrol dengan makhluk indah ini duduk-duduk disamping telaga, mengumpulkan bunga Edelweis yang subur mengembang di tebing-tebing dikiri diantara pohon pinus muda yang sekarang mungkin sudah tumbuh membesar dan menua seperti aku.
Samar-samar sedikit terdengar suaranya yang khas dengan logat daerahnya sedang menyanyikan lagu buat makhluk kecil di gendonganya. Aku tersenyum karena melihat dia bahagia, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Perlahan kendaraanku mulai beranjak meninggalkan rumah mungil itu sesaat sebelum sempurna aku meninggalkannya wajah indah itu menatap kearahku terlihat wajah indah itu terkejut melihat aku muncul kembali setelah sekian lama menghilang tanpa pesan tanpa kabar tetapi terlambat, mobil kami sudah melesat meninggalkannya sendiri dalam halimun pegunungan yang dingin menusuk tulang.

           Batas desa mulai terlihat, sepi dan kaku dan akhirnya tertinggal sudah jauh dibelakang desa seribu imajinasi, dalam bayangan teduh pohon pinus. Sampailah aku di pondok kecil duduk sendiri karena sopirku pamit sejenak menemui saudara perempuannya yang tinggal tidak jauh dari pondok kecil tersebut katanya. Dalam kesendiriannya menikmati pemandangan indah yang menghampar di bawahku diiringi gemercik air dari parit kecil, dari mata air di belakangku terdengar langkah kaki yang lembut tetapi pasti dari arah belakang mendekatiku belum sempat aku berbalik kurasakan hembusan yang lembut menyelusup dari tengkuk leher bagian belakangku menyelusup membelai keseluruh tubuhku… hembusan nafas yang kurindukan, yang menghias mimpi indahku, yang menerangi derap langkah kehidupanku, inspirasi semua nyanyian dan lukisan yang pernah aku dendangkan...perlahan aku berbalik… kulihat sosok mungil itu tepat didepan mataku mengenakan topi ala Joshua, baju hangat sweater berwarna biru muda bergaris putih tebal, dan celana panjang dari bahan katun menutupi kaki mungil, menatap kearahku mata bulat hitam bercahaya yang lucu…
“Anakmukah ini?” tanyaku kepada makhluk cantik yang menyodorkan bayi mungil itu kepadaku.”
Dia menjawab dengan senyuman, senyuman penuh kebanggaan karena telah melahirkan makhluk kecil yang kelak menjadi penerus cita ayah dan ibunya… Gadis manisku. Memaksaku untuk mengendong buah hatinya. Kucoba menggendong mahluk mungil itu, gendongan yang sepertinya tidak terasa asing, anak kecil ini seperti akrab terasa digendonganku, terasa hilang rasa rindu makhluk mungil ini berada dekat didekapanku.
Tak terasa basah sudah kedua bola mataku. “Ah cengeng sekali aku, seorang laki-laki yang menangis hanya karena menggendong bayi laki-laki… kulihat air mata juga menggenang diantara mata indah wanita didepanku tetapi entah apa yang harus kami tangisi? Toh tidak ada perlu kami sesali dan patut ditangisi… Dunia yang jauh berbeda hampir tidak mungkin menyatukan kami… Perpisahan yang terjadi bertahun-tahun lampaupun adalah keputusan terbijak yang harus diambil demi kebaikan bersama paling tidak kristal-kristal kerinduan seolah-olah mencair larut dan hilang bersama gemericik air dari mata air dibelakang pondok kecil ini…
                  Mobil itu sudah datang tanda semuanya sudah harus diakhiri… Kuserahkan kembali makhluk kecil kepadanya, terasa berat rasa karena kutahu hampir tak mungkin lagi terjadi pertemuan ini, untuk terakhir kali kuliahat lagi wajah yang tersenyum melepas aku pagi seakan tiada rasa sedih ataupun berat terlihat ikhlas melepasku… Dia masih tegar dan kuat sama seperti sepuluh tahun lalu ketika kutinggalkan… Kabut tipis mulai menyelimuti menghalangi pandanganku dari dua makhluk indah ...perlahan dan pasti kubuka mataku mencoba pergi dari alam imajinasi ke alam nyata… Matahari sebentar lagi terbit dan belum terlambat untuk bergegas mengambil air wudhu. Dan menghadap Illahi rabbi, mengucap hamdallah karena karunia mimpi terindah, mengucap Istiqfar karena telah berselingkuh dengan mimpi… sayup-sayup terdengar suara radio berbunyi memperdengarkan sepenggal lagu dari Hijau Daun.
“Suara dengarkanlah aku,
apa kabarnya pujaan hatiku,
aku disini merindukan. Masih berharap didalam hatinya…"
                                                                                                                    temanggung,3 sept 2009





Sabtu, 29 Agustus 2009

MALINGSIAL

MALINGSIAL

Ditulis oleh:Yulianto*)

Indonesial tanah Cairku

Tanah tumpah muntahku

Disanalah aku merangkak hina

Jadi kubur

Indonesial negara miskin ku

Bangsa Busuk dan Tanah Miskinku

Marilah kita semua tidur

Indonesial negara miskinku

Mati lah tanahku

Modar lah negriku

Bangsaku Rakyatku semuanya

Miskin lah jiwanya

Tidurlah badannya

Untuk Indonesial Miskin

Indonesial Miskin

Mampous Modar

Datang kerja Malaysia

Tapi TKI Jadi perampok

Rompak Malaysia bawa wang ke Indon

Indonesial Pendatang Haram

Miskin lah Miskin lah

Datang Haram ke Malaysia

Tiada paspor

Bila kena tangkap dan hantar balik

Kata nya malaysia jahat

Indonesial Negara Perampok

Indonesial Menghantar perampok maling

pekerja TKI Indonesial

hantaq pi Malaysia

Indonesial Maling

Merampok lagu Malaysia

Mengatakan itu lagu mereka

Indonesial Tanah yang hina

Tanah gersang yang miskin

Di sanalah aku miskin Untuk slama-lamanya

Indonesial Tanah puaka

Puaka Hantu Kita semuanya

Negara luas hasil bumi banyak tapi miskin

Datang minta sedekah di Malaysia

Marilah kita mendoa Indonesial brengset

Gersang lah Tanahnya mundurlah jiwanya

Bangsanya Rakyatnya semuanya

Tidurlah hatinya Mimpilah budinya

Untuk Indonesial Miskin

Indonesial Tanah yang kotor Tanah kita yang Malang

Disanalah aku tidur selamanya bermimpi sampai mati

Indonesial! Tanah Malang Tanah yang aku sendiri benci

Marilah kita berjanji Indonesial miskin

Mati lah Rakyatnya Modar lah putranya

Negara Miskin Tentera Coma pakai Basikal,Miskinlah Negrinya Mundur lah Negara nya

Kata-kata diatas adalah sepenggal lirik, lagu indonesia yang telah diplesetkan oleh orang tak dikenal yang entah berasal dari mana, kalau melihat struktur bahasanya lirik diatas kelihatan berlogat melayu atau berbahasa Melaysia sehingga sehingga banyak pihak menduga situs yang memuat lirik diatas dibuat oleh seseorang berkebangsaan Malaysia, hal ini tentu saja membuat banyak orang menjadi geram dan membuat rasa nasionalisme terusik. Apalagi masih lekat dalam ingatan kita kasus-kasus seperti lepasnya pulau Sipadan-Ligitan, sengketa bok ambalat, pelanggaran wilayah pembatasan, klaim keudayaan seperti lagu rasa sayange, tari pendet, seni batik tulis, reog ponorogo, wayang kulit dan tentu saja kasus Manohara Adelia Pinot yang mengakibatkan hubungan kedua bangsa bukannya semakin membaik tetapi justru semakin memburuk dan memburuk.

Pertanyaannya adalah kenapa negara yang selama ini dijuluki negara sebagai negara Jiran yang berarti tetangga dekat berubah menjadi negara yang ingin sepertinya memancing-mancing kemarahan kita sebagai bangsa yang berdaulat?. Banyak spekulasi jawaban atas pertanyaa-pertanyaan diatas misalnya ada yang berspekulasi bahwa negara tersebut sebegitu miskinnya akan budaya sehinga harus kebingungan ketika harus mempromosikan keunggulan pariwisatanya(coba teman-teman ingat-ingat lagi sisi pariwisata khas apa yang pantas diunggulkan di Malaysia ? Menara Petronas sebentar lagi sudah bukan lagi menara tertinggi di dunia karena China, Jepang, AS sudah mulai membangun menara yang setara dengan Petronas, situs-situs purbakala hampir sebagian besar merupakan peninggalan kerajaan sriwijaya Indonesia, pantai-pantainya tidak ada yang seindah pantai-pantai di Bali dan sulawesi utara. Kemiskinan budaya itulah yang membuat mereka terpaksa harus menyekolahkan warganya ke Bali untuk belajar tari Pendet dll bahkan di tahun 70-an banyak guru-guru Indonesia yang di ekspor ke Malaysia untuk mengajar bangsa tersebut pelajaran baca tulis, hitung-hitungan dan budi pekerti untuk selanjutnya sesudah bisa seni tari, lukis dll kesenian tersebut mereka klaim sebagai bagian dari budaya nenek moyang mereka (???) tapi itu baru spekulasi yang pertama.

Spekulasi yang kedua adalah bahwa mereka melihat celah dari kelemahan kita sebagai bangsa berbudaya tinggi tetapi kebudayaan kita tidak pernah diperhatikan atau paling tidak didaftarkan ke lembaga-lembaga Internasional yang kompeten dengan itu. Sehingga “sah dan wajar” saja bila sesuatu yang belum ada hak paten-nya pada hakikatnya adalah sesuatu yang belum ada pemiliknya ibarat pohon jambu yang tumbuh di tanah kosong tanpa pemilik maka siapapun bisa mengakui sebagai pemilik sah pohon itu. Jika spekulasi ini benar maka pemerintah melalui pihak yang berwenang tentang hak paten harus pro aktif, menginventarisir untuk selanjutnya mempatenkan sebelum nilai-nilai dan hasil budaya kita habis dirampok oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, supaya kita tidak dikutuk oleh anak cucu kita karena anak cucu kita sudah tidak punya identitas apapun sebagai bangsa karena habis diambil bangsa lain.

Spekulasi diatas bisa jadi salah karena masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang tidask bisa diurai satu persatu (misalnya konspirasi tingkat tinggi, kerancuan budaya dll), bisa juga salah satu benar atau bisa juga benar semua yang penting bagi kita sebagai generasi produktif adalah terus menggali kekayaan budaya kita, singkirkan primordialisme dll, jangan membajak karenap pembajakan=mencuri(kecuali membajak sawah), bikinlah organisasi / LSM yang sesuai dengan profesi / bidang garap karena dengan bersatu dalam sebuah wadah pergerakan maka suara-suara kita akan lebih didengar dan lebih berarti (bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, Abu Thalib berkata “kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir) Mengupayakan pematenan setiap kaya anak bangsa dengan bekerja bahu membanhu bersama pemerintah, jangan melulu menyalahkan peemrintah justru kita harus proaktif.

Nah kembali ke pokok bahasan lirik lagu diatas, pada dasarnya bendera negara, lambang negara dan lagu kebangsaan adalah simbol kedaulatan sebuah negara oleh karena itu tidak sembarangan orang bisa seenaknya merubah apapun didalamnya karena merupakan penghinaan terhadap negara jangankan warga negara asing, kita warga negara Indonesia saja tidak dibenarkan untuk melakukannya. Oleh karena itu aparat penegak hukum dengan dipayungi UU ITE pasti sudah bergerak untuk mencari siapa dalang perusak kedaulatan negara di dunia maya tersebut, nah sambil menunggu hasil kinerja para penegak hukum tersebut ada baiknya kita merenungi kata demi kata dalam bait lagu diatas. Sebagai sebuah instropeksi bagi kita sendiri karena tidak mungkin seseorang diejek kalau tidak ada objek yang patut dijadikan bahan ejekan. Kita sebagai bangsa yang mengekspor tenaga kerja karena kurangnya peluang kerja di negeri sendiri. Tenaga kerja kita di luar negari adalah tenaga kerja rendahan yang tidak punya keahlian khusus karena biaya pendidikan di negara kita masih saja terlalu tinggi bagi sebagian besara rakyat Indonesia. Media massa seperti televisi yang seharusnya punya andil besar untuk turut mencerdaskan bangsa justru menayangkan siaran-siaran murahan,seperti sinetron yang menggiring pada sikap Hedonis, gosip-gosip selebriti yang tidak ada manfaatnya, realiti show rekayasa yang cuma menayangkan kekerasan rumah tangga tanpa solusi jelas dan lain-lain.

Mulailah demi diri kita bangsa menjadi lebih besar, kuat dan berdaulat. Tidak ada bangsa yagn bodoh yang ada adalah bangsa yagn malas berfikir, malas bekerja sehingga sedikit demi sedikit mengalami kemunduran, kemiskinan. Kalau kita tidak malas berfikir dan bekerja, tentu kita bisa menciptakan peluang kerja tanpa harus menungu proyek padat karya dari pemerintah atau lowongan kerja dari pabrik-pabrik. Kalau kita sudah bisa menciptakan peluang kerja bagi kita dan lingkungan maka bangsa lain sudah tidak bisa lagi mencemooh kita sebagai “Bangsa TKI” dan kalau lapangan kerja ada dimana-mana sektor pajak akan meningkat negara mampu untuk membeli atau bahkan membuat sendiri sistem pertahanan negara yang super canggih, sehingga bangsa lain yang mencoba merongrong kedaulatan bangsa kita akan berfikir dua kali, tiga kali dst, apalagi bangsa pencuri hasil kebudayaan pasti ketiban sial karena tidak ada lagi hasil kebudayaan yang bisa dicuri karena sudah dipatenkan sehingga mereka akan bisa kita sebut sebagai bangsa “malingsial” ,hehehe.

*)penulis adalah seorang tukang listrik dan bakul komputer

Minggu, 31 Mei 2009


Mimpi aja lah.... 
Akankah berlangsung damai kampanye pelimu pemilu di Indonesia, sudah barang tentu akan sangat damai, kenapa tidak karena saat ini para pemain bola yang adu jotos di lapangan aja di tangkap polisi. Kecemasan akan konflik sudah menjadi-jadi lantaran kita punya koleksi senopati perang saat ini belum ada yang pengalaman menang perang kecuali menang dalam hal penculikan, penghilangan bukti dan silat lidah di pengadilan dan sebagainya.

Begitupun dengan watak birokrasi yang setali tiga uang dimanapun, meskipun tampak rapi di depan tapi pada puncaknya sepertinya sama saja karena untuk menyaring dan memfilter terjadinya kudeta-kudeta ide yang lebih baik dan waras. Opo tumon ketika sesorang atau banyak orang melakukan demonstrasi yang isinya sangat substansial seperti penurunan harga kebutuhan pokok yang harus berhadapan dahulu dengan para ksatria tingkat bawah yang sama sekali tidak memiliki suara dan dianggap otak udang oleh atasannya.

Seperti watak birokrasi lainnya, menurut Stiglitz, problem mendasar dari birokrasi - birokrasi dunia itu adalah terjadinya penyumbatan aspirasi masyarakat. Para representatif di dalam lembaga-lembaga itu, termasuk PBB, tidak selalu atau bahkan sering bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan orang banyak di negara-negara masingmasing. BD diwakili oleh para gubernur bank sentral, sedangkan IMF diwakili menteri keuangan, sementara WTO oleh menteri perdagangan dari masing-masing negara anggota. Dengan demikian pula, kecuali negara-negara yang “secara gagah berani” menentang peran mereka seperti beberapa negara di Amerika Latin, maka hampir keseluruhan birokrasi negara di dunia adalah kepanjangan tangan dari neoliberasisme.

Stigilitz memperkirakan, kini 80 persen ekonomi dunia dikuasai oleh tidak lebih dari 20 persen orang, sedangkan 20 persen aset dunia terdistribusi kepada 80 penduduk dunia. Sebagian besar rakyat di negara dunia ketiga dan bekas negara komunias berpenghasilan US $ 1 sampai US $ 2 per hari. Komposisi yang sama, menurut Direktur ECONIT Hendri Saparini, tercermin dalam penguasaan aset nasional Indonesia. Jika mesin birokrasi dunia ini terus berjalan seperti sekarang maka mungkin dengan berjalannya waktu komposisi itu tidak semakin adil melainkan semakin senjang.

Tetapi fenomena yang ditunjuk oleh Stigilitz itu sebenarnya persis berbalikan dengan dasar filosofi dari neoliberalisme itu sendiri. Dasar filosofi itu adalah bahwa seluruh kegiatan ekonomi bertumpu pada individu, bahwa semua individu adalah wiraswatawan/ti dimana negara tidak diperlukan, termasuk di dalamnya tentu saja adalah lembaga dunia seperti PBB, WB, IMF maupun WTO (B. Herry Priyono, 2003). Setiap orang diperlakukan sama sebagai pelaku ekonomi, dengan demikian semua orang dan individu akan memanfaatkan pasar bebas yang terbuka tersebut.

Namun dalam sistem neoliberalisme, negara justeru berbalik menjadi monster bagi warga negara dan instrumen telanjang dari neoliberalisme, yaitu menjadi kepanjangan tangan dari birokrasai dunia yang dikuasasi oleh neoliberalisme. Negara atau birokrasi tersebut, dengan demikian, juga menjadi penjaga dan alat bagi neoliberalisme itu sendiri.

Sampai dimanakah kekuasaan atas harta dan akses atas sumberdaya ini bisa merata sampai keseluruh pelosok dunia, atau di negara kita yang kadang sangat berbelit-belit untuk mencari informasi apalagi akses. Betapapun niat para penggoda hati rakyat dengan iming-iming puluhan ribu rupiah dan pameran gombal logo partai serta pamer kenarsisan wajah.

Serta betapa malu seharusnya jika ada juga yang nggak berani narsis lantaran tokoh parte itu tidak memasyarakat sama sekali, akankah kita diatur oleh birokrasi yang memiliki sifat bottle neck sedemikian rupa itu dengan boss penguasa yang sama sekali tidak kenal, bahkan kepribadiannya.

Saya bermimpi memiliki seorang pemimpin yang tidak haus kekuasaan dan mampu memotong akses-akses birokrasi dengan cara yang cerdas dan bermartabat, atau minimal sigab bertindak, peka, dan memiliki ide cemerlang untuk itu. Maka bangunkanlah saya ketika ada orang mulia seperti dalam mimpi ini.